Pengklasifikasian
bank-bank di Indonesia ada beberapa
cara, yaitu dilihat dari segi fungsi atau stattus operasi, kepemilikan, dan
penyediaan jasa.
Klasifikasi bank berdasarkan
fungsi atau status operasi.
1. Bank Sentral;
Bank sentral
yang dimaksud adalah Bank Indonesia.
Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Secara
umum, fungsi bank sentral dalam sistem perbankan antara lain:
-
Melaksanakan
kebijakan moneter dan keuangan;
-
Memberi
nasehat pada pemerintah untuk soal-soal moneter dan keuangan;
-
Melakukan
pengawasan, pembinaan,dan pengaturan perbankan;
-
Sebagai
banker’s bank atau lender of last resort;
-
Memelihara
stabilitas moneter;
-
Melancarkan
pembiayaan pembangunan ekonomi;
-
Mendorong
pengembangan perbankan dan sistem keuangan yang sehat.
Pada Bab
II Pasal 4 point 1 UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dikatakan
bahwa Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Kemudian pada
pasal 8 disebutkan tentang tugas-tugas BI adalah: Menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter; Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; Mengatur
dan mengawasi bank.
2. Bank Umum atau Bank Komersial;
Pada
Pasal 1 (butir 3) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa “Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Dengan
demikian ada dua cara yang dapat ditempuh oleh bank dalam menjalankan usahanya,
yaitu:
1). Secara
konvensional.
Dalam hal ini bank menggunakan cara-cara yang biasa dipraktekkan dalam dunia perbankan pada umumnya, yaitu menggunakan instrumen “bunga” (interest). Bank akan memberikan jasa bunga tertentu kepada penabung, deposan, atau giran, di sisi lain bank akan mengenakan jasa atau biaya bunga juga kepada debitur, tentunya dengan tingkat yang lebih tinggi.
Dalam hal ini bank menggunakan cara-cara yang biasa dipraktekkan dalam dunia perbankan pada umumnya, yaitu menggunakan instrumen “bunga” (interest). Bank akan memberikan jasa bunga tertentu kepada penabung, deposan, atau giran, di sisi lain bank akan mengenakan jasa atau biaya bunga juga kepada debitur, tentunya dengan tingkat yang lebih tinggi.
2). Prinsip
Syariah
Pada butir 13 Pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 ini, dijelaskan bahwa “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pada butir 13 Pasal 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 ini, dijelaskan bahwa “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dengan
adanya prinsip syariah ini, tentunya memberikan keleluasaan bagi dunia
perbankan nasional dalam memobilisasi dana masyarakat. Sedang bagi masyarakat
yang ingin menyimpan dana di bank, maka prinsip syariah ini merupakan
alternatif pilihan lain.
Mengenai
bentuk hukum suatu bank umum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 point 1 UU
Nomor 10 Tahun 1998, dapat berupa: Perseroan Terbatas; Koperasi; atau Perusahaan
Daerah.
Usaha
Bank Umum
Pada
Pasal 6 UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, disebutkan secara rinci
mengenai usaha bank. Dan setelah dilakukan perubahan sesuai dengan UU Nomor 10
Tahun 1998, maka usaha bank umum meliputi:
-
menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu;
-
memberikan
kredit;
-
menerbitkan
surat pengakuan hutang;
-
membeli,
menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya;
surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
-
surat
pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih
lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
-
kertas
perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
-
Sertifikat
Bank Indonesia (SBI);
-
Obligasi;
-
surat
dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
-
instrumen
surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
-
memindahkan
uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
-
menempatkan
dana bank, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek
atau sarana lainnya;
-
menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
atau antar pihak ketiga;
-
menyediakan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
-
melakukan
kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
-
melakukan
penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga
yang tidak tercatat di bursa efek;
-
melakukan
kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
-
menyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
-
melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR);
Pada Pasal 1 (butir 4) UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Pada
Bagian Ketiga Pasal 13 UU No.7 Tahun 1992 yang menyangkut Usaha Bank
Perkreditan Rakyat, dan setelah dilakukan perubahan sesuai dengan UU Nomor 10
Tahun 1998, disebutkan bahwa “Usaha BPR meliputi:
-
menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
-
memberikan
kredit;
-
menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
-
menempatkan
dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
Selanjutnya
pada Pasal 14 UU Nomor 7 Tahun 1992 disebutkan, bahwa “BPR dilarang:
menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing; melakukan penyertaan modal; melakukan usaha
perasuransian; melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
Pada
Pasal 58 UU Nomor 7 Tahun 1992, juga disebutkan mengenai macam-macam bank atau
lembaga kredit yang diberi status sebagai BPR, yaitu:
Bank
Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN),
Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan
(BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK),
Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan dengan itu, berdasarkan UU ini dengan memenuhi persyaratan tata
cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Klasifikasi bank berdasarkan
kepemilikan.
1.
Bank Milik Negara
Adalah bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Tahun 1999 lalu lahir bank pemerintah yang baru yaitu Bank Mandiri, yang merupakan hasil merger atau penggabungan bank-bank pemerintah yang ada sebelumnya.
Adalah bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Tahun 1999 lalu lahir bank pemerintah yang baru yaitu Bank Mandiri, yang merupakan hasil merger atau penggabungan bank-bank pemerintah yang ada sebelumnya.
2.
Bank Pemerintah Daerah
Adalah bank-bank yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Bank milik Pemerintah Daerah yang umum dikenal adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang didirikan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1962. Masing-masing Pemerintah Daerah telah memiliki BPD sendiri. Di samping itu beberapa Pemerintah Daerah memiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Adalah bank-bank yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Bank milik Pemerintah Daerah yang umum dikenal adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang didirikan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1962. Masing-masing Pemerintah Daerah telah memiliki BPD sendiri. Di samping itu beberapa Pemerintah Daerah memiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
3.
Bank Swasta Nasional
Setelah pemerintah mengeluarkan paket kebijakan deregulasi pada bulan Oktober 1988 (Pakto 1988), muncul ratusan bank-bank umum swasta nasional yang baru. Namun demikian, bank-bank baru tersebut pada akhirnya banyak yang dilikuidasi oleh pemerintah. Bentuk hukum bank umum swasta nasional adalah Perseroan Terbatas (PT), termasuk di dalamnya Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN), yang telah merubah bentuk hukumnya menjadi PT tahun 1993.
Setelah pemerintah mengeluarkan paket kebijakan deregulasi pada bulan Oktober 1988 (Pakto 1988), muncul ratusan bank-bank umum swasta nasional yang baru. Namun demikian, bank-bank baru tersebut pada akhirnya banyak yang dilikuidasi oleh pemerintah. Bentuk hukum bank umum swasta nasional adalah Perseroan Terbatas (PT), termasuk di dalamnya Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN), yang telah merubah bentuk hukumnya menjadi PT tahun 1993.
4.
Bank Swasta Asing
Adalah bank-bank umum swasta yang merupakan perwakilan (kantor cabang) bank-bank induknya di negara asalnya. Pada awalnya, bank-bank swasta asing hanya boleh beroperasi di DKI Jakarta saja. Namun setelah dikeluarkan Pakto 27, 1988, bank-bank swasta asing ini diperkenankan untuk membuka kantor cabang pembantu di delapan kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Denpasar, Ujung Pandang (Makasar), Medan, dan Batam. Bank-bank asing ini menjalaskan fungsi sebagaimana layaknya bank-bank umum swasta nasional, dan mereka tunduk pula pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Adalah bank-bank umum swasta yang merupakan perwakilan (kantor cabang) bank-bank induknya di negara asalnya. Pada awalnya, bank-bank swasta asing hanya boleh beroperasi di DKI Jakarta saja. Namun setelah dikeluarkan Pakto 27, 1988, bank-bank swasta asing ini diperkenankan untuk membuka kantor cabang pembantu di delapan kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Denpasar, Ujung Pandang (Makasar), Medan, dan Batam. Bank-bank asing ini menjalaskan fungsi sebagaimana layaknya bank-bank umum swasta nasional, dan mereka tunduk pula pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5.
Bank Umum Campuran
Bank campuran (joint venture bank) adalah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
Bank campuran (joint venture bank) adalah bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
Modal disetor minimum
untuk mendirikan bank campuran menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 100 milyar, dengan ketentuan penyertaan pihak
bank yang berkedudukan di luar negeri sebesar-besarnya 85% dari modal disetor.
Klasifikasi bank berdasarkan
segi penyediaan jasa.
1.
Bank Devisa
Bank devisa (foreign exchange bank) adalah bank yang dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksi dalam valuta asing, baik dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana, serta dalam pemberian jasa-jasa keuangan. Dengan demikian, bank devisa dapat melayani secara langsung transaksi-transaksi dalam skala internasional.
Bank devisa (foreign exchange bank) adalah bank yang dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksi dalam valuta asing, baik dalam hal penghimpunan dan penyaluran dana, serta dalam pemberian jasa-jasa keuangan. Dengan demikian, bank devisa dapat melayani secara langsung transaksi-transaksi dalam skala internasional.
2.
Bank Non Devisa
Bank umum yang masih berstatus non devisa hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri (domestik). Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain: volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing.
Bank umum yang masih berstatus non devisa hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri (domestik). Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain: volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar